Selasa, 29 Januari 2013

Sayyid Quthb, Sang Pejuang Pena



“Kata-kata takkan pernah menyentuh hati dan menggerakkan jiwa manusia, kecuali kata-kata yang ditulis dengan tinta darah. Kata-kata seperti inilah yang akan selalu hidup dalam sanubari manusia.”

          Sayyid Quthb adalah anak kedua dari empat bersaudara yang dilahirkan dari rahim istri kedua Quthb bin Ibrahim. Nama lengkapnya Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Ia lahir pada 9 oktober 1906 di Musya, Provinsi Asyut, Mesir. Tiga saudaranya yang lain adalah Nafisah, Aminah, dan Muhammad Quthb. Sejak kecil dia gemar membaca, terutama membaca Al-Quran. Sejak umur delapan tahun dia sudah hapal Al-Quran dan sering membacakan koran kepada masyarakat yang datang ke rumahnya, jika ayahnya-yang bekerja sebagai kepala desa-berhalangan.

Sayyid Qutb terkenal sebagai seorang penulis buku. Ia telah menghasilkan lebih dari dua puluh buah karya dalam berbagai bidang di antaranya karya sastra dan buku-buku keagamaan. Sayyid Qutb pernah berkarir sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Ia bekerja sangat profesional dan berprestasi tinggi hingga dikirim pemerintah Mesir untuk menuntut ilmu di Amerika. Ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi yaitu Wilson’s Teacher’s College ( Washington) , Greeley College (Colorado) dan Stanford University (California). Tak cukup sampai disitu, ia juga berkelana ke Italia, Inggris dan Swiss serta negara eropa lainnya untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. 

Dalam bidang kepenulisan, Sayyid Quthb memulai dari tulisan fiksi, berupa sastra dan kritik sastra. Sepulang dari Amerika, ia hijrah ke nonfiksi dengan menulis artikel ilmiah populer dengan kajian keislaman, politik, sosial, dan budaya. Tulisannya tersebar di  berbagai media massa. Beberapa koran dan majalah yang sering memuat tulisannya : Al-Balagh, Kub As-Syarq, Al-Hayat, Al-Jadid, Al-Usbu, dan lain-lain. Di bidang politik, sejak masih di kampung, ia sudah aktif diparpol karena ayahnya aktif di Hizbul Wathany. Rumah mereka pun dijadikan markas pergerakan untuk menggalang kekuatan revolusi.

Awal dekade 1940-an, satu era baru telah mulai terjadi dalam kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan kesadarannya terhadap Islam. Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa seri “At-Taswir Fanni Fil Qur’an” pada tahun 1939. Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk “Masyahidul Qiamah Fil Qur’an” yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-Qur`an. Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb menghasilkan sebuah buku berjudul “Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam” atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam.

Fase terakhir perjalanan Sayyid Qutb berawal pada tahun 1951, saat ia mulai bergabung dengan Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun, sampai wafatnya di tiang gantungan tahun 1966. Baginya, rentang masa itu sangat penting dan karenanya ia pernah mengatakan bahwa tahun 1951 adalah tahun kelahirannya. Sayyid Qutb bergabung bersama Al-Ikhwan Al-Muslmun, dua tahun setelah wafatnya Imam Hassan al-Banna yang merupakan pendiri Al-Ikhwan, pada tahun 1949. Mereka tidak pernah bertemu muka, meski dilahirkan di tahun yang sama 1906, dan dididik di tempat yang sama, di Darul Ulum.

Beberapa karya Sayyid Qutb selanjutnya adalah: Haaza ad Din, Al-Musta qbal li hadza ad diin, khashaish tashawwur al-Islami, ma’alim fi thariq, dan tafsir fii zilali al-Qur`an. Pesan utama yang ditekankan Qutb di dalam tulisan-tulisannya adalah konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid Uluhiyyah adalah hak Allah dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri’ (pembuatan peraturan). Dan karenanya, menurut Qutb ikrar Lailaha ilalLah adalah pernyataan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang berkuasa di atas muka bumi-Nya. Maka seluruhnya itu mesti dikembalikan kepada hak-Nya.

Pada 13 Januari 1954, Revolusi Mesir melarang Al-Ikhwan Al-Muslimun dan para pimpinannya ditangkap karena dituduh sedang kudeta. Tanpa bukti yang jelas, tujuh orang pimpinan tertinggi Al-Ikhwan dijatuhi hukuman mati, termasuk Hasan Hudhaibi, Abdul Qadir Audah dan Syeikh Muhammad Farghali, ketua sukarelawan Mujahidin Ikhwan al-Muslimin di dalam Perang Suez 1948. Tapi hukuman terhadap Hasan Hudhaibi dirubah menjadi penjara seumur hidup dan Sayyid Qutb dihukum penjara lima belas tahun dengan kerja berat.

Pada tahun 1964, Sayyid Qutb telah dibebaskan atas permintaan pribadi Abdul Salam Arif, Presiden Iraq. Tapi Pemerintahan Revolusi Mesir belum menerima pembebasan tersebut. Setelah Presiden Abdul Salam Arif meninggal dalam satu musibah pesawat udara, Qutb ditangkap lagi pada tahun berikutnya. Alasannya adalah karena Qutb dituduh kembali merancang kudeta. Selain itu, Mahkamah Revolusi merujuk pada buku-buku Sayyid Quthb terutama Maalim Fi At Thariiq, yang mendasari pernyataan seruan revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang tidak berdasarkan Syari’at Allah.

Sayyid Qutb ditahan bersama seluruh anggota keluarganya. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, Presiden Gamal Nasser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb. Melalui utusan itu Presiden Gamal Nasser meminta agar Sayyid Qutb menulis pernyataan meminta ampun agar ia dibebaskan. Tapi Sayyid Qutb dengan tegas menjawab; “Sungguh, jari telunjuk yang saya pakai bersyahadat setiap salat, takkan pernah saya gunakan untuk menulis perjanjian berdasarkan hukum Taghu, meskipun satu huruf!”

Pagi hari Senin, 29 Agustus 1966, Sayyid Qutb digantung bersama-sama sahabat seperjuangannya, Muhamad Yusuf Hawwash dan Abdul Fatah Ismail. Dunia Islam pun kehilangan salah satu pejuangnya yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk membela tauhid. 

Meski dunia internasional mengecam pemerintah Mesir, hukuman mati tetap dilaksanakan. Sebelum menghadapi ekskusinya, Sayyid Qutb sempat menuliskan tulisan sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini tulisan tersebut telah dibukukan dengan judul, “Mengapa Saya Dihukum Mati” (limadza a’damuni). Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir hingga kini.

Ada sebuah kisah menarik menjelang eksekusi mati yang kejam tersebut. Kisah ini dituturkan oleh dua orang polisi yang mengawal proses eksekusi. Syahdan, pada malam menjelang dihukum gantung, seorang Syaikh (yang diutus pemerintah) datang untuk menasehati Sayyid Quthb) mengatakan:



Wahai Sayyid Quthb, perbanyaklah mengucap La Ilaha Illallah…

Sayyid Quthb menjawab:

Kami mengorbankan diri dan mati demi membela dan meninggikan kalimat Laa ilaha illallah, sementara engkau mencari makan dengan Laa ilaha Illallah“.

0 komentar:

Posting Komentar