“Kata-kata
takkan pernah menyentuh hati dan menggerakkan jiwa manusia, kecuali kata-kata
yang ditulis dengan tinta darah. Kata-kata seperti inilah yang akan selalu
hidup dalam sanubari manusia.”
Sayyid Quthb adalah anak kedua dari empat bersaudara
yang dilahirkan dari rahim istri kedua Quthb bin Ibrahim. Nama lengkapnya Sayyid Qutb Ibrahim Husain Syadzili. Ia lahir pada 9
oktober 1906 di Musya, Provinsi Asyut, Mesir. Tiga saudaranya yang lain adalah
Nafisah, Aminah, dan Muhammad Quthb. Sejak kecil dia gemar membaca, terutama
membaca Al-Quran. Sejak umur delapan tahun dia sudah hapal Al-Quran dan sering
membacakan koran kepada masyarakat yang datang ke rumahnya, jika ayahnya-yang
bekerja sebagai kepala desa-berhalangan.
Sayyid Qutb
terkenal sebagai seorang penulis buku. Ia telah menghasilkan lebih dari dua
puluh buah karya dalam berbagai bidang di antaranya karya sastra dan buku-buku
keagamaan. Sayyid Qutb pernah berkarir sebagai pengawas pendidikan di
Departemen Pendidikan Mesir. Ia bekerja sangat profesional dan berprestasi
tinggi hingga dikirim pemerintah Mesir untuk menuntut ilmu di Amerika. Ia
menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi yaitu Wilson’s
Teacher’s College ( Washington) , Greeley College (Colorado) dan Stanford University
(California). Tak cukup sampai disitu, ia juga berkelana ke Italia, Inggris dan
Swiss serta negara eropa lainnya untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya.
Dalam bidang kepenulisan,
Sayyid Quthb memulai dari tulisan fiksi, berupa sastra dan kritik sastra.
Sepulang dari Amerika, ia hijrah ke nonfiksi dengan menulis artikel ilmiah
populer dengan kajian keislaman, politik, sosial, dan budaya. Tulisannya tersebar
di berbagai media massa. Beberapa koran
dan majalah yang sering memuat tulisannya : Al-Balagh,
Kub As-Syarq, Al-Hayat, Al-Jadid, Al-Usbu, dan lain-lain. Di bidang
politik, sejak masih di kampung, ia sudah aktif diparpol karena ayahnya aktif
di Hizbul Wathany. Rumah mereka pun dijadikan markas pergerakan untuk
menggalang kekuatan revolusi.
Awal dekade 1940-an, satu era baru telah mulai terjadi dalam
kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan kesadarannya terhadap Islam.
Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa seri “At-Taswir Fanni Fil
Qur’an” pada tahun 1939. Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk
“Masyahidul Qiamah Fil Qur’an” yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat
dalam Al-Qur`an. Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb menghasilkan sebuah buku
berjudul “Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam” atau Keadilan Sosial dalam
Islam. Dalam kitab ini, ia tegas menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati
hanya akan tercapai bila masyarakat menerapkan sistem Islam.
Fase terakhir perjalanan Sayyid Qutb berawal pada tahun 1951, saat
ia mulai bergabung dengan Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun, sampai wafatnya di
tiang gantungan tahun 1966. Baginya, rentang masa itu sangat penting dan
karenanya ia pernah mengatakan bahwa tahun 1951 adalah tahun kelahirannya.
Sayyid Qutb bergabung bersama Al-Ikhwan Al-Muslmun, dua tahun setelah wafatnya
Imam Hassan al-Banna yang merupakan pendiri Al-Ikhwan, pada tahun 1949. Mereka
tidak pernah bertemu muka, meski dilahirkan di tahun yang sama 1906, dan
dididik di tempat yang sama, di Darul Ulum.
Beberapa karya Sayyid Qutb selanjutnya
adalah: Haaza ad Din, Al-Musta qbal li
hadza ad diin, khashaish tashawwur al-Islami, ma’alim fi thariq, dan tafsir fii zilali al-Qur`an. Pesan
utama yang ditekankan Qutb di dalam tulisan-tulisannya adalah konsep al-Tauhid
dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid Uluhiyyah adalah hak Allah
dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri’ (pembuatan peraturan). Dan karenanya,
menurut Qutb ikrar Lailaha ilalLah adalah pernyataan revolusi terhadap seluruh
kedaulatan yang berkuasa di atas muka bumi-Nya. Maka seluruhnya itu mesti
dikembalikan kepada hak-Nya.
Pada 13 Januari 1954, Revolusi Mesir melarang Al-Ikhwan Al-Muslimun
dan para pimpinannya ditangkap karena dituduh sedang kudeta. Tanpa bukti yang
jelas, tujuh orang pimpinan tertinggi Al-Ikhwan dijatuhi hukuman mati, termasuk
Hasan Hudhaibi, Abdul Qadir Audah dan Syeikh Muhammad Farghali, ketua
sukarelawan Mujahidin Ikhwan al-Muslimin di dalam Perang Suez 1948. Tapi
hukuman terhadap Hasan Hudhaibi dirubah menjadi penjara seumur hidup dan Sayyid
Qutb dihukum penjara lima belas tahun dengan kerja berat.
Pada tahun 1964, Sayyid Qutb telah dibebaskan atas permintaan
pribadi Abdul Salam Arif, Presiden Iraq. Tapi Pemerintahan Revolusi Mesir belum
menerima pembebasan tersebut. Setelah Presiden Abdul Salam Arif meninggal dalam
satu musibah pesawat udara, Qutb ditangkap lagi pada tahun berikutnya.
Alasannya adalah karena Qutb dituduh kembali merancang kudeta. Selain itu,
Mahkamah Revolusi merujuk pada buku-buku Sayyid Quthb terutama Maalim Fi At
Thariiq, yang mendasari pernyataan seruan revolusi terhadap seluruh kedaulatan
yang tidak berdasarkan Syari’at Allah.
Sayyid Qutb ditahan bersama
seluruh anggota keluarganya. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, Presiden Gamal
Nasser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb. Melalui utusan itu Presiden Gamal
Nasser meminta agar Sayyid Qutb menulis pernyataan meminta ampun agar ia dibebaskan.
Tapi Sayyid Qutb dengan tegas menjawab; “Sungguh, jari telunjuk yang saya pakai
bersyahadat setiap salat, takkan pernah saya gunakan untuk menulis perjanjian
berdasarkan hukum Taghu, meskipun
satu huruf!”
Pagi hari Senin, 29 Agustus
1966, Sayyid Qutb digantung bersama-sama sahabat seperjuangannya, Muhamad Yusuf
Hawwash dan Abdul Fatah Ismail. Dunia Islam pun kehilangan salah satu
pejuangnya yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk membela tauhid.
Meski dunia internasional mengecam pemerintah Mesir,
hukuman mati tetap dilaksanakan. Sebelum menghadapi ekskusinya, Sayyid Qutb
sempat menuliskan tulisan sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini
tulisan tersebut telah dibukukan dengan judul, “Mengapa Saya Dihukum Mati” (limadza
a’damuni). Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh
pemerintahan Mesir hingga kini.
Ada sebuah kisah menarik menjelang eksekusi mati yang
kejam tersebut. Kisah ini dituturkan oleh dua orang polisi yang mengawal proses
eksekusi. Syahdan, pada malam menjelang dihukum gantung, seorang Syaikh
(yang diutus pemerintah) datang untuk menasehati Sayyid Quthb) mengatakan:
“Wahai Sayyid Quthb, perbanyaklah mengucap La
Ilaha Illallah…”
Sayyid Quthb menjawab:
“Kami mengorbankan diri dan mati demi membela dan meninggikan kalimat Laa ilaha illallah, sementara engkau mencari makan dengan Laa ilaha Illallah“.
0 komentar:
Posting Komentar