Selasa, 29 Januari 2013

Kisah Empat Rumah

Ini adalah kisahku di hari Ahad, 4 November 2012, mulai dari pagi hari yang basah dengan gerimis, pertemuan Forum Lingkar Pena di Rumah Cahaya, hingga berdiskusi dengan Kang Abik di kampus UMN Medan.


Rumahku, Jam 6 Pagi

Takkan selamanya
Tanganku menggenggammu
Takkan selamanya
Raga ini menjagamu

Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah para pengganti

Tak ada yang abadi

Gerimis meringis. Butiran-butiran bening itu menghentak ritmis. Udara dingin pagi ini membuat kulitku terkikis. Jika tak ingat jadwal hari ini, badan ini pastilah sudah meringkuk terbalut selimut tipis. Kupaksakan jiwa dan raga ini untuk bangkit, melawan malas yang anarkis. Ah, lebih baik aku minum teh manis.

Dari luar, tiba-tiba samar kudengar suara bergetar. Ada sesenggukan yang menyebar. Rasa penasaranku pun keluar. Kubuka telingaku lebih lebar. Ada apa gerangan ? Tak sadar, tanganku sudah membuka pintu. Keluar.

Seorang tetanggaku keluar dengan berpeci. Sejurus kemudian ia menghampiriku.

                “Bang, ada yang meninggal. Tetangga di samping rumah itu.” Ujarnya.
                “Siapa yang meninggal bang?” Tanyaku dengan penasaran.
                “Ibu di rumah itu Bang”.



Rumah Duka, 9.50 Pagi

“Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali."

Segala puji bagi Allah, atas tiap nafas dan waktu yang masih diberi. Sungguh masih jauh dari sempurna diri ini untuk menghadap Sang Ilahi. Penyia-nyiaan segala kesempatan di tiap detik kehidupan adalah kerugian tak terperi. Dunia ini akan pergi dan akhirat adalah keniscayaan abadi.

Aku masih terbilang baru di sini. Baru tiga bulan aku menempati rumah kontrakan ini. Belum banyak tetangga yang kukenal. Kesibukan kampus dan organisasi membuatku tak punya waktu banyak untuk bersosialisasi dengan tetangga. Maka, aku pun tak kenal siapa tetanggaku ini yang sedang berduka.

Ada pertemuan yang harus aku hadiri hari ini. Seharusnya aku sudah berangkat dari tadi. Akan tetapi, kusempatkan dulu untuk berkunjung. Melarutkan rasa dalam empati kehilangan. Andai aku tidak harus berangkat sekarang, ingin rasanya turut melaksanakan fardhu kifayah.

Ya, Allah. Ampunilah dosanya dan terimalah segala amal ibadahnya.


Rumah Cahaya, 10.25 Pagi

                Ku tak selalu berdiri
                Terkadang hidup memilukan
                Jalan yang kulalui
                Untuk sekadar bercerita

Hidup ini cerita. Tiap detik kehidupan adalah cerita. Semua cerita linier dengan masa. Ia bisa ke depan, atau kembali untuk melihat kilas masa lalu tertinggal. Namun, butuh hati yang terbuka untuk bercerita. Hati yang penuh tujuan dan ketulusan.

Aku di sini untuk itu.

Kupikir aku terlambat. Ternyata, pemateri pun belum terlihat. Baguslah, aku bisa mengikuti pertemuan ini tanpa ada momen yang terlewat.

Ys. Rat. Belum pernah aku mengenalnya atau mendengar namanya. Namun caranya menyampaikan materi menarik perhatianku. Ia benar-benar bercerita. Hal ini yang membuatku percaya bahwa ia memang sastrawan.

Ia melompat dari satu topik ke topik lain, tetapi tetap integral dengan tema hari ini :  cerita pendek. Menurutnya, hal yang paling mendasar untuk menulis cerpen adalah, kemampuan bercerita. Lalu, bercerita yang seperti apa?

Bercerita bukanlah sekadar bercerita. Ada nilai-nilai yang harus disampaikan. Cerita seyogyanya punya makna. Cerita bukanlah estetika belaka tanpa logika dan etika.

berceritalah dengan bahasa yang baik dan benar, sesuai karakter yang dibawakan. Andaikata dalam suatu cerita tentang tindak kejahatan yang dilakukan preman, ada dua kalimat ...

                “Saya bunuh ya Anda!”

                “Kubunuh kau !”

Rasakan sendiri perbedaannya. 


Rumah Candradimuka UMN, 16.00 Pagi

                Apa yang terjadi dengan hatiku
                Kumasih di sini
                Menunggu pagi

                Seakan letih tak menggangguku
                Kumasih terjaga

                Menunggu Kang Abik



Habiburrahman El-Shirazy. Saat mendengar nama beliau, yang terbayang olehku adalah Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Dalam Mihrab Cinta, Bumi Cinta, dan Cinta Suci Zahrana. Semua tentang cinta, cinta, dan cinta. Belum pernah bertatap muka, tetapi aku banyak mengenal beliau lewat mahakaryanya yang kaya cinta.  

Awalnya, pertemuan direncanakan pukul tiga. Yang namanya rencana tak selalu berbuah nyata. Kang Abik masih sibuk mengisi acara ternyata.  Di sebuah ruangan kantor nan elok, kita menantinya. Hingga akhirnya sekitar pukul lima, yang dinanti pun tiba. Angin bertiup sepoi-sepoi. Burung-burung pun berkicau ria. Semburat kemilau cahaya menerpa. Siluet tercipta. Semerbak kesturi mengaroma. Dan tiba-tiba terdengar irama...

              
Ketika Cinta bertasbih

Nadiku berdenyut merdu

Kembang kempis dadaku

merangkai butir cinta


Garis tangan tergambar

tak bisa aku menentang

Sujud sukur padamu
atas segala cinta


            Syair lagu itulah yang pertama kali terngiang di telingaku saat melihatnya. Wajah beliau teduh meski seharian sibuk mengisi acara. Tak ada gurat lelah pada wajahnya. Dengan ramah beliau menjabat tangan kita. Uluk salam terdengar lembut dan indah, “Assalamualaikum...”

                Bincang-bincang pun dimulai. Beliau bercerita bahwa awal karier menulisnya adalah sebagai penerjemah. Beliau bekerja sama dengan penerbit-penerbit Indonesia untuk menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa ilmu pengetahuan. Alquran berbahasa Arab. Islam identik dengan Bahasa Arab. Maka, sangat esensial bagi penulis untuk bisa memahami Bahasa Arab.

                Menjadi penulis tidak akan pernah lepas dari yang namanya kritik. Akan tetapi, biarlah itu jadi pekerjaan kritikus, tanpa perlu kita yang urus. Bukan berati mengabaikan kritik, hanya saja jangan sampai kritik itu jadi melemahkan. Seharusnya, semakin banyak dikritik, semakin tajam pula pena kita.

                Jodoh dinanti dan dicari. Namun tak satupun manusia tahu siapa jodohnya nanti. Tetaplah berharap dan menunggu dengan terus meningkatkan kualitas diri. Kang Abik berkata berharaplah jodoh yang terbaik dari Allah, bukan memaksa Allah memberikan jodoh yang sesuai keinginan kita. Dan sekarang aku bingung, dari menulis kenapa tiba-tiba jadi bahas soal jodoh?

                  Menurutku, menulis dan jodoh itu punya satu kesamaan. Keduanya sama-sama berkesan. Kesan yang mengandung makna yang sama : kebahagiaan. Tentang kesan yang membahagiakan, Kang Abik juga punya cerita. Hal yang paling berkesan bagi beliau selama menulis adalah ketika tulisannya itu selesai. Benar-benar melegakan, katanya. Lalu, saat tulisan itu disebar dan dibaca orang, terasa benar-benar membanggakan. Apalagi, jika sampai dibukukan, betapa luar biasa bahagia. Dan tiba-tiba rezeki Allah datang melalui rekening bank. Sungguh syukur yang tak terkirakan.

                Di akhir pertemuan, kita mencoba mencipta keabadian : berfoto bersama. Dengan baik hati beliau berkenan berfoto meski waktu mengejarnya. Tak lelah ia melayani hasrat para ikhwan dan akhwat yang ingin tanda tangannya. Senyuman pun terus menghiasi wajahnya. Semoga karya-karyamu selalu menginspirasi dan mendunia, kang Abik. Dan semoga ridho dan rahmat Allah selalu menyertai di setiap langkahmu. Aamiin.
   



0 komentar:

Posting Komentar