Sudah beberapa kali Karin mendengar bahwa surat kabar tempatnya bekerja akan tutup. Gaji karyawan, termasuk wartawan, dipotong dengan alasan efisiensi. Gaji yang sudah kecil itu pun kian tak ada artinya lagi. Apalagi, sekarang harga-harga kebutuhan pokok terus meninggi. Padahal, pekerjaan mereka sungguh berisiko. Mereka kerap harus berhadapan dengan hukum, teror, bahkan maut.
Sejumlah rekannya juga sudah mulai hengkang, berburu
pekerjaan lain. Akan tetapi, ia mencoba untuk tetap bertahan menikmati
sisa-sisa harapan. Terus meliput, mewawancarai, dan menulis berita.
Karin menikmati pekerjaan itu.
Dalam hati kecilnya, Karin juga ingin punya pekerjaan
dengan penghasilan memadai. Sebenarnya pekerjaan ini tak sejalan dengan
latar pendidikannya di jurusan Psikologi. Kesukaannya menulislah yang
mengantarkannya pada pekerjaan ini. Mungkin, jilbab-jilbab besar dan
gamis gombor tua itulah yang membuatnya bisa bertahan dengan gaji
pas-pasan. Ia tak perlu ke salon rambut, atau membeli jilbab-jilbab
dengan gaya yang lagi nge-trend. Cukuplah baju-baju tua itu. Baginya yang penting sopan dan nyaman.
Sampai suatu hari sahabatnya, Rika, bertandang ke
kosannya. Rika sahabat Karin sejak semester satu di fakultas psikologi.
Gaya hidup Rika berubah drastis sejak ia bekerja di sebuah perusahaan
swasta asing di Medan. Makan di restoran mahal, belanja di Mall, nonton
bioskop, ikut paket kecantikan di salon, adalah hal-hal yang lumrah bagi
Rika.
Rika menawari karin sebuah pekerjaan di sebuah
perusahaan swasta asing tempat Rika bekerja. Posisi kepala HRD, yang
cukup sesuai dengan pendidikan Karin. Gajinya pun lumayan besar.
Pada awalnya Karin menolak karena ia menyukai pekerjaannya
sekarang. Akan tetapi, Rika terus mendorong Karin untuk meninggalkan
koran yang bagi Rika tak lagi punya masa depan.
“It’s okay kalau koran tempat kau bekerja bonafid dan
gajimu besar. Tapi kau bekerja di surat kabar yang nyaris gulung tikar
!” Ujar Rika berapi-api.
Benar juga kata Rika, pikir Karin. Akan jadi apa masa
depannya jika terus bertahan pada kondisi seperti ini. Karin harus move up.
***
Karin dan Rika menaiki taksi menuju salah satu pusat
perkantoran di Medan. Selama perjalanan, Rika tampak gelisah. Tampaknya
ia mengkhawatirkan penampilan Karin dengan jilbab gombornya.
“Kau kurang rapi, Rin. Seharusnya kau pakai blazer
atau jas seperti orang kantoran, bukan baju gombor kayak gini.”
“Tapi aku nyaman seperti ini. Lagipula, pakaian seperti ini yang sesuai syariat”
“Yang akan kau hadapi nanti adalah sesorang yang tak terlalu suka dengan jilbab.”
“Hmm...Begitu ya, hahaha.”
“Kok ketawa, ini serius, Rin.”
“Udah deh, tenang aja.”
Karin tiba di sebuah ruangan yang tidak terlalu
besar, tetapi sangat nyaman dan wangi. Seorang pria dengan gaya parlente
mempersilakannya masuk dan duduk. Lantas, karin menyerahkan
berkas-berkas lamaran kerja.
Pria itu memperkenalkan diri. Karin hanya
menangkupkan kedua tangan saat ia hendak menyalami Karin. Alis matanya
naik. Ia sedikit terkejut, namun sedetik kemudian kembali tersenyum.
Karin pun tersenyum simpul, menyembunyikan ketidaknyamanannya berduaan
di ruangan itu.
Sejauh ini, semua pertanyaan bisa dijawab Karin
dengan cemerlang. Namun, tiba-tiba pria itu mengajukan pertanyaan di
luar dugaan Karin.
“Apakah Anda bersedia melepaskan pakaian itu saat
bekerja di sini?” Tanya pria itu datar sambil menunjuk jilbab gombor
yang dikenakan Karin.
“Kenapa, Pak? Apa saya tidak boleh melaksanakan
ajaran agama saya. Bukankah undang-undang mengatakan bahwa setiap warga
negara bebas menjalankan agamanya masing-masing?” Karin bertanya balik.
“Anda sangat berpotensi. Gaji besar bisa Anda
dapatkan di sini. Tapi hanya pegawai rendahan saja yang boleh mengenakan
pakaian itu di sini. Bagaimana, Anda bersedia?”
Karin berpikir sejenak. Meski ilmu agamanya belum
terlalu dalam, Ia tahu memakai ini adalah perintah-Nya. Akan tetapi,
terbayang lagi olehnya kos-kosannya yang kumuh dan hutang-hutangnya.
Belum lagi, tunggakan kos yang sudah dua bulan. Ia butuh pekerjaan.
“Sebenarnya, saya sangat tertarik dengan pekerjaan
ini. Saya hanya seorang wartawan miskin yang bekerja di koran yang
hampir bangkrut. Secara finansial, pekerjaan ini sangat menjanjikan.
Namun, pakaian ini adalah perintah Tuhan yang menjadi prinsip saya,
bagian dari kehidupan saya. Maaf, tidak mungkin saya melepaskannya.”
“Anda yakin?”
“Ya.”
“Kalau begitu, terima kasih telah berkesempatan untuk
wawancara. Mudah-mudahan Anda memperoleh pekerjaan di tempat lain yang
sesuai prinsip Anda.”
Karin pamit. Ia lega, bisa mempertahankan apa yang
selama ini ia pegang. Namun, terbayang lagi olehnya korannya yang hampir
tutup, kos-kosan kumuh, hutang-hutang, dan jilbab-jilbab gombor tuanya.
0 komentar:
Posting Komentar