Selasa, 29 Januari 2013

Prinsip

          

       Sudah beberapa kali Karin mendengar bahwa surat kabar tempatnya bekerja akan tutup.  Gaji karyawan, termasuk wartawan, dipotong dengan alasan efisiensi. Gaji yang sudah kecil itu pun kian tak ada artinya lagi. Apalagi, sekarang harga-harga kebutuhan pokok terus meninggi. Padahal, pekerjaan mereka sungguh berisiko. Mereka kerap harus berhadapan dengan hukum, teror, bahkan maut.

         Sejumlah rekannya juga sudah mulai hengkang, berburu pekerjaan lain. Akan tetapi,  ia mencoba untuk tetap bertahan menikmati sisa-sisa harapan. Terus meliput, mewawancarai, dan menulis berita. Karin menikmati pekerjaan itu.

         Dalam hati kecilnya, Karin juga ingin punya pekerjaan dengan penghasilan memadai. Sebenarnya pekerjaan ini tak sejalan dengan latar pendidikannya di jurusan Psikologi. Kesukaannya menulislah yang mengantarkannya pada pekerjaan ini.  Mungkin, jilbab-jilbab besar dan gamis gombor tua itulah yang membuatnya bisa bertahan dengan gaji pas-pasan. Ia tak perlu ke salon rambut, atau membeli jilbab-jilbab dengan gaya yang lagi nge-trend. Cukuplah baju-baju tua itu. Baginya yang penting sopan dan nyaman.

           Sampai suatu hari sahabatnya, Rika, bertandang ke kosannya. Rika sahabat Karin sejak semester satu di fakultas psikologi. Gaya hidup Rika berubah drastis sejak ia bekerja di sebuah perusahaan swasta asing di Medan. Makan di restoran mahal, belanja di Mall, nonton bioskop, ikut paket kecantikan di salon, adalah hal-hal yang lumrah bagi Rika.

                Rika menawari karin sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan swasta asing tempat Rika bekerja. Posisi kepala HRD, yang cukup sesuai dengan pendidikan Karin. Gajinya pun lumayan besar.

     Pada awalnya Karin menolak karena ia menyukai pekerjaannya sekarang. Akan tetapi, Rika terus mendorong Karin untuk meninggalkan koran yang bagi Rika tak lagi punya masa depan.

 “It’s okay kalau koran tempat kau bekerja bonafid dan gajimu besar. Tapi kau bekerja di surat kabar yang nyaris gulung tikar !” Ujar Rika berapi-api.

                Benar juga kata Rika, pikir Karin. Akan jadi apa masa depannya jika terus bertahan pada kondisi seperti ini. Karin harus move up.

***
                Karin dan Rika menaiki taksi menuju salah satu pusat perkantoran di Medan. Selama perjalanan, Rika tampak gelisah. Tampaknya ia mengkhawatirkan penampilan Karin dengan jilbab gombornya.

                “Kau kurang rapi, Rin. Seharusnya kau pakai blazer atau jas seperti orang kantoran, bukan baju gombor kayak gini.”
                “Tapi aku nyaman seperti ini. Lagipula, pakaian seperti ini yang sesuai syariat”
                “Yang akan kau hadapi nanti adalah sesorang yang tak terlalu suka dengan jilbab.”
                “Hmm...Begitu ya, hahaha.”
                “Kok ketawa, ini serius, Rin.”
                “Udah deh, tenang aja.”

                Karin tiba di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, tetapi sangat nyaman dan wangi. Seorang pria dengan gaya parlente mempersilakannya masuk dan duduk. Lantas, karin menyerahkan berkas-berkas lamaran kerja.

                Pria itu memperkenalkan diri. Karin hanya menangkupkan kedua tangan saat ia hendak menyalami Karin. Alis matanya naik. Ia sedikit terkejut, namun sedetik kemudian kembali tersenyum. Karin pun tersenyum simpul, menyembunyikan ketidaknyamanannya berduaan di ruangan itu.

                Sejauh ini, semua pertanyaan bisa dijawab Karin dengan cemerlang. Namun, tiba-tiba pria itu mengajukan pertanyaan di luar dugaan Karin.

                “Apakah Anda bersedia melepaskan pakaian itu saat bekerja di sini?” Tanya pria itu datar sambil menunjuk jilbab gombor yang dikenakan Karin.
                “Kenapa, Pak? Apa saya tidak boleh melaksanakan ajaran agama saya. Bukankah undang-undang mengatakan bahwa setiap warga negara bebas menjalankan agamanya masing-masing?” Karin bertanya balik.
                “Anda sangat berpotensi. Gaji besar bisa Anda dapatkan di sini. Tapi hanya pegawai rendahan saja yang boleh mengenakan pakaian itu di sini. Bagaimana, Anda bersedia?”

                Karin berpikir sejenak. Meski ilmu agamanya belum terlalu dalam, Ia tahu memakai ini adalah perintah-Nya. Akan tetapi, terbayang lagi olehnya kos-kosannya yang kumuh dan hutang-hutangnya. Belum lagi, tunggakan kos yang sudah dua bulan. Ia butuh pekerjaan.

                “Sebenarnya, saya sangat tertarik dengan pekerjaan ini. Saya hanya seorang wartawan miskin yang bekerja di koran yang hampir bangkrut. Secara finansial, pekerjaan ini sangat menjanjikan. Namun, pakaian ini adalah perintah Tuhan yang menjadi prinsip saya, bagian dari kehidupan saya. Maaf, tidak mungkin saya melepaskannya.”

                “Anda yakin?”
                “Ya.”
                “Kalau begitu, terima kasih telah berkesempatan untuk wawancara. Mudah-mudahan Anda memperoleh pekerjaan di tempat lain yang sesuai prinsip Anda.”

                Karin pamit. Ia lega, bisa mempertahankan apa yang selama ini ia pegang. Namun, terbayang lagi olehnya korannya yang hampir tutup, kos-kosan kumuh, hutang-hutang, dan jilbab-jilbab gombor tuanya. 

0 komentar:

Posting Komentar