Cicak Versus Buaya Dalam Bingkai
Cerita
Judul : KPK vs Polri :
Mengungkap Fakta Mengejutkan
yang Belum Terekspos Media
Penulis : Budi
Setyarso
Penyunting : Richanadia
Penerbit : Noura
Books (PT Mizan Publika)
Cetakan : I,
Desember 2012
Tebal : xvi +
206 hlm.
Beberapa bulan yang lalu, sekitar
bulan Juli, masyarakat dihebohkan dengan mencuatnya konflik antara dua penegak
hukum : KPK dan Polri. Konflik ini memanas setelah ditetapkannya Irjen Djoko
Susilo sebagai tersangka kasus pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas
Polri. Masing-masing lembaga merasa berhak mengusut kasus tersebut. Berita
tentang tarik ulur perkara pun saban hari menjadi santapan publik.
Peristiwa 5 Oktober 2012 merupakan
klimaks dari kemelut tersebut. Gedung KPK di Kuningan “dikepung” ratusan
personil polisi. Tujuan mereka adalah menangkap salah satu penyidik KPK : Komisaris
Polisi Novel Baswedan. Ia dituding bersalah atas kasus penembakan pencuri
sarang burung walet ketika masih menjadi Kepala Satuan Reserse Kriminal kota Bengkulu sewindu yang lalu.
Kompol Novel Baswedan merupakan orang yang berada di garis depan penyidikan
kasus simulator SIM.
Berbagai upaya pelemahan mengancam
KPK. Mulai dari rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, penangguhan dana anggaran pembangunan gedung KPK, hingga
upaya penangkapan Kompol Novel Baswedan yang disinyalir sebagai bentuk
kriminalisasi. Akibat revisi tersebut, beberapa kewenangan penting KPK terancam
hilang. Padahal, seperti yang ada di halaman 163 buku ini, selama sewindu sejak
2004 KPK telah melakukan 480 penyelidikan, 278 penyidikan, dan 222 penuntutan.
Dengan kinerja seperti itu, wajar jika banyak yang terus berusaha menghambat
laju KPK.
Para pendukung KPK tidak tinggal
diam. Ribuan “semut rangrang” berbondong-bondong ke gedung KPK, meneriakkan
slogan “Save KPK, Bersihkan Polri”.
Mereka mendukung KPK untuk segera menangkap Irjen Djoko Susilo. Dukungan datang
dari berbagai kalangan : aktivis, mahasiswa dan pelajar, politisi, hingga
musisi. Penggalangan dana bertajuk “Saweran Untuk Gedung KPK” turut digalakkan.
Dukungan di dunia maya lewat jejaring sosial pun tidak kalah ramai. Tagar
#PresidenKemana menjadi trending topic di
Twitter. Publik menganggap presiden kurang responsif menanggapi konflik kedua
lembaga.
Bak sebuah novel, buku yang terdiri
dari 15 bab ini menyajikan data dan fakta yang dibingkai cerita. Alurnya
dinamis dan melompat maju mundur. Pembaca akan disuguhkan informasi-informasi rinci
yang belum banyak diungkap media. Kronologis kasus dijabarkan dalam berbagai
sudut pandang. Setiap tokoh dalam di dalam buku ini memiliki karakter-karakter
tersendiri. Konflik yang muncul menimbulkan ketegangan yang menarik pembaca
larut dalam cerita. Katastrofe cerita pun berakhir dengan kehadiran presiden
yang telah lama dinanti sebagai penengah antara KPK dan Polri.
Sebagian besar tulisan di buku ini merupakan hasil
liputan Budi Setyarso dan kawan-kawan. Beberapa petikan wawancara dan data di
buku ini juga dikutip dari laporan panjang di Majalah Tempo dan Koran Tempo. Namun,
lompatan adegan yang disajikan masih cenderung kaku sehingga berpotensi
menjenuhkan pembaca. Di sisi lain, terdapat juga kesalahan pengetikan nama
tokoh. Seperti di halaman 127, tertera nama Nunung yang seharusnya Nunun karena
merujuk ke nama Nunun Nurbaeti. Beberapa kesalahan cetak juga terjadi, yang menyebabkan
nomor halaman 162, 163, 174, dan 175 menjadi hilang.
Meski demikian, buku yang ditulis oleh jurnalis
peraih penghargaan Anugerah Adiwarta 2007 dan Mochtar Lubis Award 2009 ini
dapat membawa arti penting tentang betapa berbahayanya dampak tindakan korupsi.
Kepedulian dan kesadaran masyarakat akan bahaya laten tindak korupsi mutlak
diperlukan. Metafora “Cicak Versus Buaya” dan “Rangrang Versus Buaya” yang
hadir dalam buku ini menjadi persuasi tersendiri yang menjadi motor pergerakan
antikorupsi.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh kalangan jurnalis,
mahasiswa ilmu sosial-politik, politisi, akademisi, dan aktivis pergerakan
antikorupsi. Gaya tulisan di buku ini mengarah ke Jurnalisme Sastrawi, yang
menambah khazanah wawasan para peminat dan pegiat bidang jurnalistik. Buku ini
juga dapat dibaca oleh siapa saja yang peduli terhadap gerakan melawan korupsi
di tanah air.
Resensi ini terbit di Harian Analisa Medan edisi Rabu 16 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar