Selasa, 29 Januari 2013

Resensi Buku : Cicak Versus Buaya Dalam Bingkai Cerita



Cicak Versus Buaya Dalam Bingkai Cerita       

Judul                :           KPK vs Polri : Mengungkap Fakta Mengejutkan
yang Belum Terekspos Media
Penulis             :           Budi Setyarso
Penyunting      :           Richanadia
Penerbit           :           Noura Books (PT Mizan Publika)
Cetakan           :           I, Desember 2012
Tebal               :           xvi + 206 hlm.


            Beberapa bulan yang lalu, sekitar bulan Juli, masyarakat dihebohkan dengan mencuatnya konflik antara dua penegak hukum : KPK dan Polri. Konflik ini memanas setelah ditetapkannya Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka kasus pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri. Masing-masing lembaga merasa berhak mengusut kasus tersebut. Berita tentang tarik ulur perkara pun saban hari menjadi santapan publik.

            Peristiwa 5 Oktober 2012 merupakan klimaks dari kemelut tersebut. Gedung KPK di Kuningan “dikepung” ratusan personil polisi. Tujuan mereka adalah menangkap salah satu penyidik KPK : Komisaris Polisi Novel Baswedan. Ia dituding bersalah atas kasus penembakan pencuri sarang burung walet ketika masih menjadi Kepala Satuan Reserse  Kriminal kota Bengkulu sewindu yang lalu. Kompol Novel Baswedan merupakan orang yang berada di garis depan penyidikan kasus simulator SIM.

            Berbagai upaya pelemahan mengancam KPK. Mulai dari rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, penangguhan dana anggaran pembangunan gedung KPK, hingga upaya penangkapan Kompol Novel Baswedan yang disinyalir sebagai bentuk kriminalisasi. Akibat revisi tersebut, beberapa kewenangan penting KPK terancam hilang. Padahal, seperti yang ada di halaman 163 buku ini, selama sewindu sejak 2004 KPK telah melakukan 480 penyelidikan, 278 penyidikan, dan 222 penuntutan. Dengan kinerja seperti itu, wajar jika banyak yang terus berusaha menghambat laju KPK.

            Para pendukung KPK tidak tinggal diam. Ribuan “semut rangrang” berbondong-bondong ke gedung KPK, meneriakkan slogan “Save KPK, Bersihkan Polri”. Mereka mendukung KPK untuk segera menangkap Irjen Djoko Susilo. Dukungan datang dari berbagai kalangan : aktivis, mahasiswa dan pelajar, politisi, hingga musisi. Penggalangan dana bertajuk “Saweran Untuk Gedung KPK” turut digalakkan. Dukungan di dunia maya lewat jejaring sosial pun tidak kalah ramai. Tagar #PresidenKemana menjadi trending topic di Twitter. Publik menganggap presiden kurang responsif menanggapi konflik kedua lembaga.

            Bak sebuah novel, buku yang terdiri dari 15 bab ini menyajikan data dan fakta yang dibingkai cerita. Alurnya dinamis dan melompat maju mundur. Pembaca akan disuguhkan informasi-informasi rinci yang belum banyak diungkap media. Kronologis kasus dijabarkan dalam berbagai sudut pandang. Setiap tokoh dalam di dalam buku ini memiliki karakter-karakter tersendiri. Konflik yang muncul menimbulkan ketegangan yang menarik pembaca larut dalam cerita. Katastrofe cerita pun berakhir dengan kehadiran presiden yang telah lama dinanti sebagai penengah antara KPK dan Polri.

Sebagian besar tulisan di buku ini merupakan hasil liputan Budi Setyarso dan kawan-kawan. Beberapa petikan wawancara dan data di buku ini juga dikutip dari laporan panjang di Majalah Tempo dan Koran Tempo. Namun, lompatan adegan yang disajikan masih cenderung kaku sehingga berpotensi menjenuhkan pembaca. Di sisi lain, terdapat juga kesalahan pengetikan nama tokoh. Seperti di halaman 127, tertera nama Nunung yang seharusnya Nunun karena merujuk ke nama Nunun Nurbaeti. Beberapa kesalahan cetak juga terjadi, yang menyebabkan nomor halaman 162, 163, 174, dan 175 menjadi hilang.

Meski demikian, buku yang ditulis oleh jurnalis peraih penghargaan Anugerah Adiwarta 2007 dan Mochtar Lubis Award 2009 ini dapat membawa arti penting tentang betapa berbahayanya dampak tindakan korupsi. Kepedulian dan kesadaran masyarakat akan bahaya laten tindak korupsi mutlak diperlukan. Metafora “Cicak Versus Buaya” dan “Rangrang Versus Buaya” yang hadir dalam buku ini menjadi persuasi tersendiri yang menjadi motor pergerakan antikorupsi.  

Buku ini sangat cocok dibaca oleh kalangan jurnalis, mahasiswa ilmu sosial-politik, politisi, akademisi, dan aktivis pergerakan antikorupsi. Gaya tulisan di buku ini mengarah ke Jurnalisme Sastrawi, yang menambah khazanah wawasan para peminat dan pegiat bidang jurnalistik. Buku ini juga dapat dibaca oleh siapa saja yang peduli terhadap gerakan melawan korupsi di tanah air.   

Resensi ini terbit di Harian Analisa Medan edisi Rabu 16 Januari 2013


           
           














0 komentar:

Posting Komentar