Anton terjaga dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata.
Ruangan kerjanya terasa seperti berkabut. Anton mengucek matanya, berusaha
menyingkirkan kabut tersebut. Alunan musik klasik masih terdengar dari sepasang
speaker kecilnya. Sementara, halaman Microsoft
Word laptopnya dipenuhi gelembung-gelembung screensaver. Jam dinding telah berdentang tiga kali sejak tengah
malam.
Dengan pandangan yang masih buram,
ia melihat sesosok wanita di depan pintu. Wanita itu lalu melangkah
mendekatinya. Sebatang rokok menyala di tangan kanannya. Kepulan asap keluar
dari bibir ranum wanita itu. Aroma parfum Coeur
de Fleur segera membelai hidung Anton.
“Hei,
Anton. Baru bangun. Kau tertidur lagi ya di meja kerjamu? Dasar tukang begadang
!”
Wanita itu berseru lembut. Wajah cantiknya terlihat
gersang. Untuk terkahir kali, kepulan asap keluar. Puntung rokok dimasukkannya
ke cangkir kopi Anton yang telah kosong di atas meja.
Lamat-lamat Anton mulai bisa melihat
sekelilingnya. Ia terhenyak. Sekarang ia baru sadar ada seorang wanita cantik di
ruang kerjanya dini hari.
“Maaf,
Anda siapa ya? Kenapa tiba-tiba masuk di ruangan saya?” Anton bertanya
penasaran.
Wanita
itu tertawa kecil. Ia menautkan kedua alisnya lalu memandang Anton dengan tatapan
tajam.
“Kau
tidak mengenaliku, Anton ?”
Anton mencoba mengingat-ingat
kembali. Ia merasa memang belum pernah melihat wanita itu, apalagi mengenalnya.
Akan tetapi, entah kenapa perawakan dan pembawaan wanita itu sangat familiar
dalam pandangannya.
“Maaf,
sepertinya saya belum pernah mengenal Anda. Sebenarnya, Anda siapa dan kenapa
masuk sembarangan di ruangan saya?” Tanya Anton berusaha sopan.
Tiba-tiba wanita itu mendekatkan wajahnya persis di
depan wajah Anton. Hembusan nafasnya menabrak hidung Anton. Lalu Ia setengah
berbisik berkata.
“Kau
sungguh tidak mengenalku, Anton ? Coba ingat, kita pernah menghabiskan
malam-malam bersama dua tahun yang lalu. Secepat itukah kau melupakanku ?”
Anton sedikit terdesak ke belakang. Ia terlalu
terkejut menerima perlakuan berani wanita itu. Rasa khawatir mulai hinggap.
Akan jadi apa bila istrinya masuk dan mendapatinya berduaan dengan seorang
wanita asing.
Anton mencoba memutar balik
waktunya. Seingatnya, dua tahun lalu ia sangat sibuk. Siang malam ia berkutat
dengan naskah-naskah skenario yang harus segera dirampungkan untuk sebuah
sinetron kejar tayang. Istrinya pun kewalahan menghadapi Anton yang lebih sibuk
mengurung diri di ruang kerja. Anak-anak Anton juga menjadi jarang dijemput
ayahnya dari sekolah. Bagaimana pula Anton bisa bertemu dan menghabiskan malam
bersama wanita itu.
Sekalipun pernah bertemu, pasti sulit
bagi Anton untuk melupakan wanita secantik itu. Suara rendah, mata bening yang
tajam, dan aroma parfum itu adalah kesan tersendiri baginya. Sekarang ia
benar-benar yakin tidak pernah bertemu wanita itu.
“Maaf,
saya benar-benar tidak kenal Anda. Sekarang, tolong Anda keluar dari sini.
Istri saya bisa salah paham.” Anton berusaha menarik wanita itu keluar.
“Hei,
jangan terlalu emosional, bung!” Sergah wanita berambut hitam terurai itu.
Tangannya menampik tarikan Anton.
“Baik,
aku akan menjelaskan siapa aku sebenarnya. Kau masih ingat dengan Diandra Anita
?
Akulah
Diandra Anita, tokoh antagonis utama dalam sinetron Kembara Cinta. Aku adalah tokoh yang kau ciptakan dalam skenariomu
!”
Anton ternganga. Alisnya terlipat. Diandra
yang diciptakannya adalah seorang wanita yang cantik dan menggoda tetapi culas
dan angkuh. Ia wanita high class yang
haus harta dan cinta. Diandra tak segan-segan melakukan hal ternista sekalipun
untuk mencapai keinginannya. Termasuk membunuh.
Ingatannya melayang ke dua tahun
lalu. Sinetron Kembara Cinta yang
skenarionya ia tulis adalah sinetron dengan rating yang tinggi. Bahkan, saking
tingginya minat pemirsa, sinetron itu ditayangkan dalam dua sekuel.
“Kau
??? Diandra Anita ? Bagaimana mungkin ? Dia fiksi, karangan, bukan manusia !
Dan Kau ?” Anton mencoba menyadarkan diri dari ketidakmengertian.
“Dan
aku sekarang di depanmu. Kau jangan heran. Aku ke sini punya maskud baik.”
Anton
mengalami disorientasi realitas. Logikanya berputar. Namun semua terasa begitu
nyata.
“Jadi,
apa maumu ?” Anton bertanya lirih. Ia berusaha mengendalikan emosi dan
pikirannya.
“Nah,
akhirnya sekarang kita tidak perlu berbasa-basi lagi.” Diandra tersenyum
simpul. “Aku ingin menjadi manusia biasa, yang punya hati, yang bisa bersedih
dan berempati, dan yang takut akan dosa. Aku ingin menikmati hidup tanpa
dikejar hasrat duniawi. Kau tahu Anton, sebenarnya aku lelah dengan semua ini.”
“Tidak
mungkin. Kau sudah tercipta, Diandra. Memang demikianlah dirimu. Jika tidak
begitu, penonton tidak akan tertarik. Justru karaktermu itu yang membuat Kembara Cinta mendapat rating yang
tinggi.” Anton menimpali.
“Kalau
begitu, berhentilah membuat Diandra-Diandra baru. Aku ingin kau lebih
realistis. Manusia juga punya nurani.”
“Apa,
kau bercanda ? Ini pekerjaanku. Karaktermu menarik minat pemirsa. Mereka puas
jika melihat tokoh-tokoh sepertimu kalah.”
“Jangan
membual, Anton ! Selama ini kau hanya menjual mimpi dan khayalan. Kau rasuki
jiwa masyarakat dengan rasa benci, kemewahan, keserakahan, dan nafsu duniawi.
Hidup bukan sekadar perebutan harta warisan dan konspirasi balas dendam. Tak
ada manusia yang terlalu jahat dan terlalu baik.”
“Ini
hanya hiburan bagi mereka. Tontonan yang sekadar melepas penat dan mengendurkan
saraf. Kau tahu, Diandra, manusia suka mengetahui masalah. Apalagi masalah
orang lain. Karakter sepertimu membuat masalah di sinetronku menjadi lebih
hidup.”
“Begitukah
caramu ? Kau bisa ‘kan membuat cerita yang lebih idealis. Memberi jalan keluar,
Membangun moral !”
“Kau
naif sekali, Diandra. Siapa yang akan menonton sinetron macam itu. Tidak ada
orang yang suka digurui. Sponsor pun tak mau membayari sinteron begitu.”
“Kau
terlalu berorientasi pada uang, Anton.”
Diandra mengambil sebuah foto yang
tergantung di dinding kamar. Foto anak-anak Anton.
“Mereka
manis-manis. Berapa umur mereka?”
“Si
sulung, Satria, dua belas tahun dan adiknya, Rena, lima tahun.” Jawab Anton.
“Kasihan.
Dua belas dan lima tahun kau cekoki dengan uang hasil meracuni pikiran orang.”
“Ini
halal, Diandra ! Aku hanya berusaha menghibur masyarakat.” Sergah Anton.
“Tutup
matamu, Anton.” Seru Diandra tiba-tiba.
“Apa,
untuk apa ?” Anton heran.
“Tutup
kubilang !” Diandra memaksa Anton menutup mata.
Anton hanya melihat gelap. Sejurus
kemudian Diandra kembali berseru.
“Buka
matamu !”
Perlahan Anton membuka mata. Alisnya
bertaut. Ia sekarang berada di sebuah kamar yang entah di mana. Di kamar itu,
ia melihat sepasang remaja saling berdekapan. Ia tidak mengenal si pemuda,
tetapi ia mengenal si gadis. Wajah oval, kulit putih, dan mata coklat bening
yang dihias alis lentik itu sangat dikenalinya. Itu semua milik Rena, putrinya.
Sejenak Anton kagum, betapa jelita putrinya saat menjelang dewasa. Akan tetapi,
sedang apa mereka berdua di kamar ini ?
“Aku
mencintaimu, Rena.” Ujar pemuda itu.
“Aku
juga.” Balas Rena manja sambil menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.
“Aku
berjanji bulan depan aku akan melamarmu, sayang. Aku tak akan menyakitimu. Kau
adalah pelabuhan cinta terakhirku.”
“Benarkah,
kau berjanji ?”
“Ya,
tentu. Maukah kau menjadi milikku ?”
“Ayah
pernah bilang, cinta adalah segalanya. Dengan cinta, hidup menjadi lebih indah.
Ayah sering menulis tentang cinta dalam skenario-skenarionya. Bagiku, cinta itu
adalah dirimu. Tentu saja aku mau menjadi milikmu.” Ujar Rena dengan sedikit
tersipu.
“Rena...”
Pemuda itu berbisik lembut di telinga Rena.
“Ya...”
Anton tidak dapat lagi menahan emosi
ketika melihat yang selanjutnya terjadi. Ia ingin mencegah pemuda itu. Namun,
langkahnya terhenti. Tubuhnya bergetar dan berpilin. Lalu, sekelilingnya
terlihat berwarna campur aduk. Dunia terasa berputar. Ia melihat wajah Diandra
menyeringai di antara mozaik-mozaik tanpa bentuk.
Tiba-tiba Anton berada di sebuah
pesta. Ia melihat banyak orang berpakaian parlente dan mewah. Prasmanan
terhidang di sudut kanan kiri gedung. Di antara puluhan orang, Anton melihat
satu wajah yang sangat dikenalinya : Satria. Ia terlihat jauh lebih dewasa
sekarang. usianya menjelang tiga puluh.
“Wah, Pak Satria kelihatan makin
sukses saja ya sekarang.” Ujar seorang pria sambil menepuk bahu Satria.
“Yah, beginilah, Pak.” Satria
tersenyum pada pria itu.
“Saya yakin, kalau hanya dari
profesi Pak Satria sekarang, bapak tidak akan semakmur ini. Ada bisnis
sampingan ya Pak.” Pria yang lain menimpali sambil tertawa.
“Cuma hobi. Lumayan menguntungkan.
Ayah saya dulu pernah bilang, cari uang itu yang gampang tapi untungnya besar. Beliau
dulu hanya menulis skenario sinetron, tapi kami bisa hidup berkecukupan.” Balas
Satria tenang.
Seorang pria datang menghampiri
Satria. Ia membisikkan sesuatu. Seketika raut wajah Satria berubah. Teman-teman
bicaranya tadi pun heran.
“Bapak-bapak,
sebentar ya. Saya ada urusan sebentar.”
Satria melangkah ke pintu masuk. Di
sana, tiga orang polisi berseragam lengkap telah menunggunya.
“Pak Satria, sekarang kami minta
Anda ikut ke kantor. Anda kami tangkap atas tuduhan pencucian uang,
penyelundupan barang antik, dan pembunuhan terhadap seorang wartawan.” Ujar
seorang polisi lugas. “Ini surat penangkapan Anda.”
Satria berusaha tenang. Ia berfikir
sejenak.
“Maaf,
boleh saya minta waktu lima menit ke dalam ? Saya ingin pamit pada istri saya.”
Polisi itu saling berpandangan.
Mereka menyetujui. Salah seorang polisi mengikuti Satria dari belakang.
Perhatian para hadirin sekarang tertuju pada Satria.
Tiba-tiba, Satria meluncur ke sebuah
pintu di sudut gedung. Polisi yang mengawalnya tidak menyangka. Dengan cepat satria
melesat keluar. Ia langsung masuk ke mobil dan berusaha melarikan diri.
“Hei..!!! Jangan Lari !” Polisi itu
berteriak.
“Satria, jangan lari. Menyerah
sajalah !” Anton berteriak. Tak ada yang mendengarnya.
Tiga Polisi itu segera keluar.
Mereka mengeluarkan pistol.
“Tang...tang...tang...” Beberapa
proyektil menghujam kap dan ban belakang mobil Satria.
“Satria
!!!” Anton kembali berteriak.
Mobil Satria oleng, terguling, lalu
berputar-putar di sepanjang jalan. Naas, sebuah truk gandeng menubruk mobil
itu. Dan...
“Duuarrr....!”
Ledakan itu menghempas tubuh Anton.
Ia terbatuk-batuk. Tubuhnya bergetar dan berpilin. Dunia kembali berputar. Ia
sekarang berada lagi di ruangannya. Di depannya sudah ada Diandra. Wanita itu
melipat tangan di dada dengan santai.
“Ck...ck...ck...
Adegan yang dramatis. Seperti yang kau suka, ‘kan ?”
“Hentikan
semua ini. Apa maumu sekarang ?
“Berhenti
menulis khayalan dan jadikan aku orang biasa.”
“Aku
tidak bisa, Diandra. Kau sudah tercipta demikian.”
“Kau
lupa satu hal, Anton. Aku paling tidak suka ditolak. Kau tahu apa yang akan aku
lakukan.” Ujar Diandra dingin.
Pintu tersentak. Seseorang menyeruak
masuk. Istri Anton sedang ditelikung Bondan, kaki tangan Diandra. Sebilah
belati melintang di leher istrinya.
Bondan bertubuh kekar. Wajahnya
pucat dan kepalanya botak. Ia seorang yang kejam dan tak segan-segan menyakiti
orang.
“Mas
Anton, tolong mas. Mas...Mas Anton...” Teriak istrinya.
“Bondan,
bawa dia. Kau tahu apa yang mesti kau lakukan.” Perintah Diandra.
“Jangan
!!! Diandra, hentikan dia!” Anton berteriak khawatir. Diandra hanya tertawa.
“Mas
Anton... Tolong mas... Mas... Maaasss...!”
“Tidaaak
!!!” Anton berusaha mengejar, tetapi langkahnya terasa berat sekali.
“Mas
Anton... Mas, bangun Mas. Mas kenapa ? Istrighfar Mas. Sudah adzan subuh.” Istri
Anton mengguncang-guncang bahu suaminya.
Anton tersentak bangun. Ia beristighfar
berkali-kali. Peluh membasahi wajah dan tubuhnya.
“Anak-anak
di mana ?” Tanya Anton. Nafasnya memburu.
“Di
kamar. Mas saja yang bangunkan. Seharian mereka nggak ketemu Mas.”
Anton
melihat sekeliling. Alunan musik klasik masih terdengar dari speaker kecilnya.
Halaman Microsoft Word laptopnya
dipenuhi gelembung. Tidak ada puntung rokok di cangkirnya.
Ia
melihat lagi skenario yang ditulisnya tadi malam. Sejenak ia befikir lalu
mengatupkan kedua mata. Wajah Diandra dan Bondan yang membayang. Begitu juga
dengan suara manja Rena, dan mobil satria yang meledak.
“Do you want to save the changes to
‘Episode110’ ? “
“No.”
-Medan,
Januari 2013-