Terkadang
aku iri pada orang-orang yang bisa aktif menulis, baik di media blog maupun di
media cetak. Ada satu temanku di Forum Lingkar Pena yang cerita pendeknya berkali-kali
dimuat di tidak hanya di harian lokal, tetapi juga di harian nasional. Aku bisa
merasakan semangat menulisnya sejak pertama kali bertemu dengannya. Ia bahkan
pernah mengajakku untuk duet menulis cerita pendek. Namun sayang, ajakannya itu
tidak pernah serius kugubris karena, lagi-lagi, aku terlalu sibuk dengan urusan
kampus. Bulan ini malah ia memperoleh anugerah sebagai "The Writer of the
Month" FLP Sumut.
Sebenarnya
secara harfiah aku sering juga menulis, tetapi menulis instan di beranda Facebook.
Biasanya, tulisan-tulisan itu adalah inspirasi yang kebetulan datang dan tidak
aku lewatkan begitu saja. Aku berharap tulisan singkat itu dapat pula menjadi
inspirasi untuk orang lain. Terkadang, itu juga hanya berupa curahan-curahan
hati yang sengaja aku tulis dengan gaya yang sok idealis agar orang tidak
menganggapku sebagai orang yang sedang galau.
Bagiku,
menulis apapun itu, baik fiksi maupun nonfiksi adalah sama. Menulis adalah
upaya untuk melawan lupa. Menulis dapat bersifat menyembuhkan. Menulis, kata
Pramoedya Ananta Toer, adalah kerja untuk keabadian, agar kita tidak lenyap
begitu saja dari sejarah. Di atas semua itu, menulis adalah proses menghasilkan
karya. Karya yang baik dan bermanfaat tentunya akan selalu dikenang orang.
Ibarat macan mati meninggalkan belang, manusia
mati (harus) meninggalkan karya, bukan sekadar nama.
Setahun
lalu, saat awal-awal ku bergabung di FLP Sumut, aku sangat bersemangat untuk
menulis. Tulisan pertamaku yang berupa cerita pendek dimuat di Harian Sumut Pos.
Aku sangat bersyukur dan sedikit terkejut karena hanya dengan sekali kirim
tulisanku sudah ada yang dimuat. Entah, mungkin tema cerita pendek itu memang
menarik dan kontekstual. Tulisan keduaku yang berupa resensi buku dimuat di
Harian Analisa. Buku yang kuresensi berisi tentang kisah perseteruan antara
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri terkait kasus korupi simulator SIM di
Ditlantas Polri dengan tersangka utama Irjen Djoko Susilo. Kasus ini terkenal
dengan sebutan kasus "Cicak Vs Buaya" sebagai metafora dari KPK vs
Polri. Sayangnya, meski resensiku dimuat, namun aku harus memberikan buku
kepada redaksi Analisa sebagai syarat pengiriman tulisan. Meski memperoleh
honor, sampai hari ini aku tidak membeli buku itu lagi.
Walau
bagaimanapun, menulis tetaplah menulis, bukan hanya karena motivasi pragmatis
untuk dimuat melainkan juga untuk beramal. Aku teringat pesan dari mas FX Rudy
Gunawan di sebuah workshop kepenulisan, "Menulislah apa saja. Tuangkan apa
yang ada di pikiran. Menulislah paling tidak 2 jam setiap hari, terserah hingga
berapa lembar yang dapat Anda tulis."
Saya setuju dengan pernyataan beliau bahwa, bagaimana awal menjadi
penulis hebat adalah ya dengan menulis. Jika terlalu jauh dan muluk memikirkan
konsep ini itu tetapi jemari tak kunjung menulis ya sama saja. Kebiasaan
menulis setiap hari akan membuat kita spontan terhadap keadaan apapun yang bisa
dituangkan lewat tulisan. Kita dapat menangkap makna dan inspirasi di sekitar
kita dan mengolahnya menjadi untaian kata penuh makna, bukan hanya retorika
yang berbunga-bunga.
Oleh
karena itu, mulai hari ini aku akan lebih berkomitmen untuk terus menulis.
Tulisan-tulisanku berikutnya nanti bukan hanya ungkapan isi pikiran dan hati
melainkan juga sesuatu yang dapat bermanfaat dan menginspirasi orang yang
membacanya. Aku tidak terlalu memusingkan apa yang nanti akan orang komentari
terkait tulisanku, tetapi aku tidak akan membiarkan orang-orang menghabiskan
waktunya hanya untuk mmebaca tulisanku yang sama sekali tidak memberi makna
bagi mereka. Waktu mereka begitu berharga untuk dibuang sia-sia.
0 komentar:
Posting Komentar