Minggu, 01 Juni 2014

Menulis Kembali

Sudah sangat lama sekali aku tidak pernah menulis. Setiap hari waktuku tersita untuk hal-hal yang tak jauh-jauh dari kampus : Lab, jadi asisten praktikum, dan mengurus usulan penelitian. Semester akhir ini yang notabenenya tak ada lagi mata kuliah wajib, tidak serta merta membuat waktuku lebih luang untuk sekadar menulis, mengungkapkan buah-buah pikiran yang terlampau matang di otakku, hingga aku tersadar rasanya mereka sudah hampir busuk dan  berulat. Pada akhirnya aku tidak bisa lagi menahan tanganku yang sudah sangat 'gatal' untuk meracik ide menjadi kata-kata bermakna. 




Terkadang aku iri pada orang-orang yang bisa aktif menulis, baik di media blog maupun di media cetak. Ada satu temanku di Forum Lingkar Pena yang cerita pendeknya berkali-kali dimuat di tidak hanya di harian lokal, tetapi juga di harian nasional. Aku bisa merasakan semangat menulisnya sejak pertama kali bertemu dengannya. Ia bahkan pernah mengajakku untuk duet menulis cerita pendek. Namun sayang, ajakannya itu tidak pernah serius kugubris karena, lagi-lagi, aku terlalu sibuk dengan urusan kampus. Bulan ini malah ia memperoleh anugerah sebagai "The Writer of the Month" FLP Sumut. 

Sebenarnya secara harfiah aku sering juga menulis, tetapi menulis instan di beranda Facebook. Biasanya, tulisan-tulisan itu adalah inspirasi yang kebetulan datang dan tidak aku lewatkan begitu saja. Aku berharap tulisan singkat itu dapat pula menjadi inspirasi untuk orang lain. Terkadang, itu juga hanya berupa curahan-curahan hati yang sengaja aku tulis dengan gaya yang sok idealis agar orang tidak menganggapku sebagai orang yang sedang galau.

Bagiku, menulis apapun itu, baik fiksi maupun nonfiksi adalah sama. Menulis adalah upaya untuk melawan lupa. Menulis dapat bersifat menyembuhkan. Menulis, kata Pramoedya Ananta Toer, adalah kerja untuk keabadian, agar kita tidak lenyap begitu saja dari sejarah. Di atas semua itu, menulis adalah proses menghasilkan karya. Karya yang baik dan bermanfaat tentunya akan selalu dikenang orang. Ibarat macan mati meninggalkan belang, manusia  mati (harus) meninggalkan karya, bukan sekadar nama.

Setahun lalu, saat awal-awal ku bergabung di FLP Sumut, aku sangat bersemangat untuk menulis. Tulisan pertamaku yang berupa cerita pendek dimuat di Harian Sumut Pos. Aku sangat bersyukur dan sedikit terkejut karena hanya dengan sekali kirim tulisanku sudah ada yang dimuat. Entah, mungkin tema cerita pendek itu memang menarik dan kontekstual. Tulisan keduaku yang berupa resensi buku dimuat di Harian Analisa. Buku yang kuresensi berisi tentang kisah perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri terkait kasus korupi simulator SIM di Ditlantas Polri dengan tersangka utama Irjen Djoko Susilo. Kasus ini terkenal dengan sebutan kasus "Cicak Vs Buaya" sebagai metafora dari KPK vs Polri. Sayangnya, meski resensiku dimuat, namun aku harus memberikan buku kepada redaksi Analisa sebagai syarat pengiriman tulisan. Meski memperoleh honor, sampai hari ini aku tidak membeli buku itu lagi.

Walau bagaimanapun, menulis tetaplah menulis, bukan hanya karena motivasi pragmatis untuk dimuat melainkan juga untuk beramal. Aku teringat pesan dari mas FX Rudy Gunawan di sebuah workshop kepenulisan, "Menulislah apa saja. Tuangkan apa yang ada di pikiran. Menulislah paling tidak 2 jam setiap hari, terserah hingga berapa lembar yang dapat Anda tulis."  Saya setuju dengan pernyataan beliau bahwa, bagaimana awal menjadi penulis hebat adalah ya dengan menulis. Jika terlalu jauh dan muluk memikirkan konsep ini itu tetapi jemari tak kunjung menulis ya sama saja. Kebiasaan menulis setiap hari akan membuat kita spontan terhadap keadaan apapun yang bisa dituangkan lewat tulisan. Kita dapat menangkap makna dan inspirasi di sekitar kita dan mengolahnya menjadi untaian kata penuh makna, bukan hanya retorika yang berbunga-bunga.

Oleh karena itu, mulai hari ini aku akan lebih berkomitmen untuk terus menulis. Tulisan-tulisanku berikutnya nanti bukan hanya ungkapan isi pikiran dan hati melainkan juga sesuatu yang dapat bermanfaat dan menginspirasi orang yang membacanya. Aku tidak terlalu memusingkan apa yang nanti akan orang komentari terkait tulisanku, tetapi aku tidak akan membiarkan orang-orang menghabiskan waktunya hanya untuk mmebaca tulisanku yang sama sekali tidak memberi makna bagi mereka. Waktu mereka begitu berharga untuk dibuang sia-sia.
 







Rabu, 30 April 2014

Kosong

            Malam ini sangat memuaskan. Kepalaku masih pusing. Teman-teman tadi memang pandai memilih minuman. Satu tenggak langsung jreng. Ini baru benar-benar pesta. Haha ! Si Dodi sekarang pasti sudah klenger kelamaan menungguku bawa inex ini. Dia utang empat kali.



          Sial ! Jalan macet. Aku berusaha menyela beberapa kendaraan di depanku. Benda-benda berkaki bundar itu berjalan merangkak. Sepeda motor hitam yang kutunggangi melompat-lompat, melindasi bebatuan di pinggir aspal. Dari kejauhan, kulihat banyak orang mengerumuni sesuatu.

                “Memang tadi gimana kejadiannya ?”

                “Entah, saya juga kurang tau. Ada yang bilang dilindas truk. Tabrak lari.”
         Aku penasaran mendengar percakapan dua orang itu. kupinggirkan sepeda motor, lalu berjalan ke arah kerumunan. Bercak darah berceceran di aspal. Beberapa orang menutup hidung. Seonggok tubuh terbujur kaku tertutup kain putih. Empat orang keluar dari ambulans membawa tandu.

                “Tolong, minggir dulu.” Seorang polisi bermasker berusaha menghalau kerumunan.
Beberapa orang menepi.

                “Astaga, ususnya sampai keluar gitu.”

                “Angkat ke sini. Ya...ya... hati-hati !”     

                “Pak, ini dompet dan kartu identitasnya.”

          Aku mendekati petugas itu. Kuamati kartu di tanganya. Alisku menaut. Foto yang tepampang sepertinya sangat kukenal. Begitu juga dengan dompet coklat itu.

                Kurogoh saku celanaku. Kosong.